SERUNI | Kondisi Anak di era Pandemi Covid 19

    September 9, 2022

    English Jumlah penderita Covid 19 di Indonesia mengalami peningkatan dari dari ke hari. Sumber dari pemerintah melaporkan tertanggal 17 Agustus jumlah penderita Covid sebesar 3,892,479 dengan angka kematian 1.180dan terus bertambah hingga sekarang. Pada awalnya virus ini hanya terdeteksi di perkotaan, belakangan virus ini juga ditemui di desa. Rentang usia penderita pun semakin lebar, awalnya […]

    Painting of children wearing face masks

    English

    Seruni Logo

    Jumlah penderita Covid 19 di Indonesia mengalami peningkatan dari dari ke hari. Sumber dari pemerintah melaporkan tertanggal 17 Agustus jumlah penderita Covid sebesar 3,892,479 dengan angka kematian 1.180dan terus bertambah hingga sekarang. Pada awalnya virus ini hanya terdeteksi di perkotaan, belakangan virus ini juga ditemui di desa. Rentang usia penderita pun semakin lebar, awalnya tidak ditemui kasus pada anak anak, namun setelah varian baru menyebar, anak anakpun menjadi korban.

    Penularan virus covid-19 semakin mengkhawatirkan. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan, kasus positif Covid-19 pada anak berusia 0 Sampai 18 tahun mencapai 12,5% atau 351.336 kasus positive. Artinya, satu dari delapan kasus konfirmasi Covid-19 terjadi pada anak. Tingkat kematiannya pun mencapai 3% hingga 5%. Jumlah kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia menjadi yang tertinggi di dunia, yaitu mencapai 777 orang, dan dari seluruh data anak yang meninggal itu, 50% adalah balita.

    Respon dan kebijakan pemerintah

    Ketika pertama kali virus Covid ditemukan di Wuhan Cina dan menyebar dengan cepat ke negara negara lain, beberapa negara segera membuat upaya proteksi dini untuk mencegah virus ini masuk ke negaranya, meski ahirnya tidak berhasil. Pemerintah Indonesia belum melakukan tindakan apapun, malah sempat mengeluarkan statement bahwa orang Indonesia aman dari Covid karena ….. Sebulan setelah pandemi melanda, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Tindakan PSBB ini meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan juga pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Namun kebijakan ini tidak berhasil membedung virus menyebar ke semua wilayah, bahkan malah berdampak ke semua sektor kehidupan rakyat. Ekonomi rakyat hancur, rakyat kehilangan kendapatan, kehidupan sosial budaya terganggu, pendidikan kehilangan substansi, psikologis rakyat terteror, dan kekerasan muncul dimana mana.

    Tidak berhasil pada kebijakan PSBB yang malah berdampak besar pada perekonomian nasioanal, Jokowi meenerapkan kebijakan PPKM, yang bagi rakyat dampaknya sama dengan kebijakan sebelumnya, bahkan lebih parah karena lamanya pandemic dan ketidak mampuan pemerintah mengatasi dampaknya.

    Dampak yang dirasakan secara khusus oleh anak anak Pendidikan

    Kebijakan Sosial Distance juga diterapkan di sektor pendidikan. Hampir 2 tahun system pembelajaran jarak jauh sangat bergantung pada internet. Padahal infrastruktur belum merata di semua wilayah. Selain persoalan tidak adanya akses internet, kepemilikan gudget juga masih menjadi persoalan. Bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang bekerja sebagai petani dan buruh, gadget masih menjadi barang yang tidak mudah didapat. Harga gadget hampir menyamai pendapatan mereka 1 bulan. Tentunya pengadaan budget ini sangat memberatkan, terlebih jika dalam 1 keluarga terdapat 2 atau lebih anak yang bersekolah jarak jauh, ditambah selain gadget ada kebutuhan juga untuk pembelian pulsa.

    Pemerintah menyediakan kuota belajar gratis bagi murid, namun layanan ini tidak merata, dan hanya bagi murid yang berada di kota besar. Murid yang berada di pedesaan, mayoritas keluarga hidup dalam kemiskinan, tidak mendapat bantuan kuaota gratis, tentunya pengalokasian uang untuk pembelian pulsa tentu sangat memberatkan. Terdapat juga bantuan untuk guru, tetapi jumlahnya tidak sebesar yang berada di Jawa.

    Melihat dari penelitian yang dilakukan oleh Smeru pada 2020, guru di Jawa memanfaatkan berbagai aplikasi digital untuk pembelajaran jarak jauh, sementara sejumlah guru di perdesaan di luar Jawa harus berjalan sampai 30 kilometer untuk mengajari seorang murid selama satu jam. Ada pula guru yang hanya memberi tugas mingguan tanpa memberi penjelasan materi dengan harapan murid akan belajar mandiri. Pemerintah tidak menyentuh masalah ketimpangan ini dan lebih memilih untuk terus menggelontorkan bantuan kuota internet hingga Rp7,2 triliun. Akibatnya, anggaran besar itu mentah juga. Masih berdasarkan penelitian yang sama, proporsi guru di wilayah perdesaan di luar Jawa yang mendapatkan bantuan dari sekolah sangat kecil dibandingkan dengan guru di wilayah perkotaan di luar Jawa serta guru di perkotaan dan perdesaan di Jawa. Akibatnya lagi-lagi hanya sebagian anak yang terbantu, sementara yang tidak memiliki gawai atau wilayahnya tak tersentuh sinyal internet hanya bisa gigit jari. “Dengan kondisi demikian, anak akan memiliki kecenderungan belajar sangat sedikit bahkan tidak belajar sama sekali, yang dapat saja memengaruhi keputusan anak untuk tetap sekolah,”

    Pembelajaran jarak jauh juga memberatkan bagi orang tua karena tugas untuk memberikan pembelajaran menjadi beban orang tua. Bagi orang tua yang harus keluar untuk bekerja, mendampingi anak untuk belajar tentu tidak bisa mereka lakukan. Terlebih sebagian besar masyarakat terutama di pedesaan, berpendidikan rendah. Beban yang besar bertambah kepada orang tua, terutama orang tua perempuan, perselisihan antara anak – orang tua, atau antar orang tua sendiri banyak ditemui di masyarakat dikarenakan persoalan pendampingan belajar. Kondisi ini mejadikan anak enggan untuk belajar.

    Tidak ada pembelajaran di setiap materi guru, pembelajaran diserahkan ke anak dan orang tua. Tentu ini menjadi beban baru bagi orang tua, terlebih sebagian besar petani maupun buruh tidak berpendidikan, atau tidak bisa mendampingi anak mereka karena harus bekerja. Tidak sedikit anak yang terpaksa putus sekolah karena persoalan ini.

    Hasil survei United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) mencatat, sebanyak 1% atau 938 anak usia 7 hingga 18 tahun putus sekolah karena terdampak pandemi virus corona Covid-19. Dari jumlah tersebut, 74% anak putus sekolah karena tidak ada biaya. Sebanyak 12% anak putus sekolah karena tidak ada keinginan. Kemudian, 3% anak putus sekolah karena pengaruh lingkungan.

    Anak yang putus sekolah karena merasa cukup dengan pendidikan saat ini dan akibat bekerja masing-masing sebesar 2%. Sementara, 8% anak putus sekolah karena alasan lainnya.

    Temuan UNICEF tersebut belum menunjukan angka sebenarnya. Karena kenyataan di lapangan lebih banyak lagi jumlah anak yang putus sekolah dan partisipasi anak masuk sekolah padda ajaran baru menurun. Desa dimana Seruni bekerja, puluhan anak putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah di masa pandemi ini. Hampir semua dikarenakan masalah biaya

    Perubahan pola belajar, dari interaksi langsung antara murid-guru dan murid–murid, berganti dengan penggunaan gadget, tidak hanya berpengaruh pada penguasaan murid atas pelajaran. Namun juga sangat berpengaruh terhadap psikologis dan perkebangan emosi anak. anak lebih banyak berinteraksii dengan gudget dan dunia maya, sedikit sekali berinteraksi dengan orang sekitarnya. Anak ketergantungan pada gadget, pada game, pada media sosial. Bahkan pengadaan kuaota gratis dan aplikasi belajar juga tidak tidak meringankan beban, meski mendapat kuota belajar gratis, dikarenakan sudah ketergantungan pada internet, pulsa internetpun harus tersedia. Internet menjadi adictif dan berpengaruh pada perkembangan emosi dan psikologis anak.

    Selama pandemic dan social distinction diberlakukan, kebebasan bermain anak dibatasi. Anak dikungkung dalam rumah dan dibatasi interaksinya dengan lingkungan. Kesempatan untuk mengembangkan diri melalui eksperimen dengan alam dan lingkungan terbatas. Anak menjadi pasif, apatis dan tidak mempunyai sensifitas dengan sekitar. Sementara itu, media yang digunakan anak untuk melihat dunia luas dari dalam rumah adalah gadget dan televisi. Dari dua media ini anak anak banyak belajar tentang kehidupan.

    Respon Rakyat

    Lambannya pemerintah mengatasi COvid dan dampak yang mucul, memunculkan keresahan dan ketidak percayaan di masyarakat atas kebijakan pemerintah. Pemberlakuan PPKM tidak berjalan efektif karena hal tersebut. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah dimunculkan dengan aksi bantu antar rakyat. Kampanye rakyat bantu rakyat atasi Covid dengann penggalangan dana, bantuan makanan, relawan pemakaman, aksi tenaga medis dan aksi kemanusiaan lainnya marak dilakukan sesama rakyat di berbagai tempat.

    Yang dilakukan oleh SERUNI untuk menghadapi situasi seperti ini salah satunya membuat sanggar belajar untuk anak anak di pedesaan. Sanggar belajar ini melibatkan tenaga pengajar dari aktifis SERUNI dan kalangan mahasiswa, serta terbuka bagi anak anak petani dan buruh kebun di perkebunan kelapa sawit Riau. Setidaknya dengan adanya sangar belajar ini bisa membantu anak untuk tetap cinta belajar dan meringankan orang tua yang harus pergi berkerja.

    Di kalangan perempuan, Seruni mengkampanyekan pertanian tanaman pangan dengan melibatkan perempuan dan anak anak. bagi anak, aktifitas ini sebagai pengalihan dari ketergantungan mereka terhadap gadget.